Friday, 3 January 2020

Dari mana asal nama jari?


Nama kami untuk jari kami menunjukkan kedalaman variasi budaya yang mengejutkan — dan kesamaan.




Sebagian besar bagian tubuh datang sendiri atau berpasangan. Kami memiliki satu hidung, satu lidah, dan satu pusar. Kami olahraga dua mata, dua lutut, dua kaki, dan sebagainya. Fingers adalah pengecualian yang mencolok — kami memiliki lima partai di setiap sisi. Ini menghadirkan kesulitan. Ketika kita ingin memilih satu dari kelompok — untuk menentukan jari mana yang kita hantam, misalnya — apa yang kita lakukan? Kami menamai mereka, secara alami. Tapi bagaimana caranya?

Ini adalah masalah manusia yang unik. Pentadactyly — kondisi memiliki lima jari — sangat luas di dunia biologis, tetapi kita adalah satu-satunya spesies yang memiliki kapasitas (atau kesempatan) untuk berbicara tentang jari-jari itu. Masalahnya bukan hanya bahwa kita memiliki lima dari mereka, tetapi bahwa mereka sangat mirip: mereka sedikit berbeda dalam ukuran dan ketangkasan, tetapi semua memiliki tampilan mengerut, kuku-capped. Bagaimana orang-orang di waktu dan tempat yang berbeda menyelesaikan masalah ini? Bagaimana mereka memberi nama anggota kuintet yang membingungkan ini? Menjawab pertanyaan ini menawarkan tur inventif dari pikiran manusia.



Pertimbangkan dulu ibu jari. Penampilan adalah sumber yang sangat umum dari nama jempol. Kata bahasa Inggris modern, misalnya, berasal dari kata yang lebih tua yang berarti "kekar" atau "tebal." Bahasa lain menyoroti fakta bahwa ibu jari itu kuat, meskipun bertubuh pendek. Istilah Latin untuk anggota ini — pollex, masih digunakan dalam konteks medis — berasal dari kata kerja yang berarti “menjadi kuat.” Di Kurdi, asosiasi kekompakan dan kekuatan ini menyatu dalam label “ram jari”.

Kasus "jari ram" mengisyaratkan pola yang lebih luas: kita sering melihat jari kita sebagai makhluk hidup, agen kecil dengan kepribadian mereka sendiri. Karena itu, kita sering menamainya dengan nama binatang atau setelah peran sosial manusia. Dalam beberapa bahasa asli Amerika, ibu jari disebut "jari utama." Di tempat lain ia dilemparkan sebagai anggota keluarga: istilah "ibu," "ayah," "kakak laki-laki," atau "jari kakek" semuanya dibuktikan. Meskipun langka di Eropa, label yang membandingkan jari dengan manusia adalah umum di seluruh dunia. Satu studi menemukan nama-nama tersebut dalam seperlima dari 123 bahasa yang disurvei.

Jempol telah menarik sejumlah nama lain. Dalam bahasa Yunani, itu dikenal sebagai "apa yang berlawanan dengan jari." Dalam beberapa bahasa Turki, itu dikenal sebagai "jari kepala." Di beberapa bagian Timur Tengah dan Mediterania, nama untuk ibu jari berasal dari fungsi yang tidak menyenangkan. bahwa, untungnya, tidak lagi harus melayani (banyak): pembunuh kutu.


Selanjutnya: jari telunjuk. Label ini berasal dari penggunaan jari dalam menunjuk: indeks kata bahasa Inggris berakar pada kata sebelumnya yang berarti "untuk ditampilkan." Nama-nama yang mengaitkan jari ini dengan menunjuk dapat ditemukan di seluruh dunia, tetapi yang lain ikut bermain. Penutur bahasa Inggris juga menyebutnya telunjuk karena posisinya sebagai jari pertama yang tepat, tidak termasuk ibu jari. Teks-teks abad pertengahan menyebutnya sebagai “penyambut” dan “guru.” Di zaman Anglo-Saxon, itu dikenal sebagai “jari sabit,” karena alasan yang keruh, dan sebagai “jari tembak,” karena digunakan untuk menarik tali busur.

Di seluruh dunia, jari telunjuk dikaitkan dengan fungsi lain. Dalam bahasa Iran, itu dianggap sebagai isyarat untuk memberi isyarat, mengutuk, dan melindungi. Ia juga dikenal sebagai "jari doa" atau "jari kesaksian" - label dalam bahasa Turki modern - karena penggunaannya dalam praktik syahadat Muslim, atau pengakuan iman. Salah satu nama panggilannya yang paling berwarna didasarkan pada kegemarannya menggesek saus: "pot licker."


Selanjutnya: jari tengah. Bahasa Inggris bukan satu-satunya bahasa yang memberi nama jari ini untuk posisi sentralnya — “jari setengah jalan” adalah contoh lain. Beberapa mempercantik gagasan itu: di Choctaw, itu dikenal sebagai "putra tengah", dan dalam beberapa bahasa Turki, ia dijuluki "poplar tengah," membangkitkan citra jari-jari sebagai dudukan pohon. Aspek lain yang menonjol dari jari tengah ini, tentu saja, panjangnya. Jadi kita menemukan monikers seperti "jari panjang" atau "jari tinggi," dan varian warna-warni seperti "rumput tinggi" atau "Turk tinggi."

Dalam bahasa Latin, jari tengah dikenal sebagai digitus impudicus atau obscenus — yaitu jari yang tidak tahu malu atau cabul. Beberapa menyarankan istilah ini karena penggunaannya dalam salah satu gerakan paling kasar kami, tetapi alasan yang lebih dalam mungkin terletak pada penampilannya. Jari tengah, ketika direntangkan dan diapit di kedua sisi, dikatakan menyerupai penis dan testis. Bentuk falus ini, pada kenyataannya, apa yang memotivasi gerakan itu sejak awal. Penjelasan lain untuk kecabulan, sebagaimana dicatat oleh seorang pengamat, adalah bahwa ini adalah digit yang sering digunakan untuk merangsang alat kelamin wanita.



Baris keempat: jari manis. Semua orang akan mengenali asal usul nama panggilan ini dalam praktik mengenakan cincin modern. Tetapi tidak semua sadar akan sejarah yang lebih dalam di balik tradisi ini. Menurut kepercayaan abad pertengahan, saraf atau arteri mengalir dari jari manis ke jantung. Gagasan ini membuat orang untuk tidak menelepon pada digit ini. Ini juga memberi jari peran penting dalam pengetahuan dan praktik medis. Dokter akan menggunakan jari manis ketika menerapkan perawatan, misalnya. Asosiasi semacam itu mengilhami istilah "jari dokter," "jari penyembuhan," "jari hati," dan "jari lintah" - yang terakhir karena lintah adalah kata lain untuk dokter.

Istilah "jari manis" sekarang ditemukan di seluruh dunia. Tapi nama lain yang agak paradoks juga populer: "jari tanpa nama". Label ini pernah digunakan di beberapa bagian Eropa, memimpin Wilhelm Grimm, yang terkenal karena dongeng, untuk berspekulasi tentang asal-usulnya. Salah satu idenya adalah bahwa nama itu menyinggung reputasi digit-squeak-clean ini, berbeda dengan tetangganya yang cabul. Yang lain adalah bahwa, karena kegunaan mistis semu jari dalam penyembuhan, beberapa berani tidak menyebut namanya.

Namun, penjelasan yang lebih sederhana mungkin ada. Label paradoks yang sama ini ditemukan dalam bahasa Amerika asli dan Cina, sehingga tidak mungkin berasal dari kepercayaan budaya yang khas Eropa. Sebaliknya, ketiadaan nama jari ini mungkin karena sifatnya yang biasa-biasa saja. Terjepit di antara jari-jari yang lebih khas, dan tidak terlalu berguna, jari manis



Terkecil tapi tidak kalah pentingnya: yang pinky. Di samping penampilan, kata bahasa Inggris tidak ada hubungannya dengan warna merah muda — melainkan dipinjam dari bahasa Belanda. Asal usul kata yang lebih dalam masih diperdebatkan, tetapi mungkin telah melekat karena mengandung akhiran ("-y") yang sering digunakan dalam bahasa Inggris untuk hal-hal kecil yang menawan. Kelingking, bagaimanapun, adalah tangan yang menyenangkan.

Fiksasi pada ukuran digit ini ditemukan di seluruh dunia. Ini secara beragam disebut "bayi," "anak bungsu," atau "anak perempuan terakhir." Di Turki, ini dikenal sebagai "jari burung pipit," setelah burung yang sangat kecil. Gagasan yang terkait adalah bahwa jari ini sedikit kasar. Di beberapa tempat, itu dikenal sebagai jari "yatim" atau "di belakang".

Terus terang, jari kelingking tidak melakukan banyak hal. Istilah yang didasarkan pada fungsinya agak langka. Satu pengecualian ditemukan dalam bahasa Latin, di mana jari kelingking diberi label auricularis — yaitu, “jari telinganya.” Asosiasi aural ini, masih ditemukan dalam bahasa Prancis modern, disebabkan oleh apa yang mungkin merupakan bakat paling menonjol jari ini: penghilangan lilin.

Solusi untuk masalah penamaan jari ini menunjukkan pikiran manusia di tempat kerja — dan saat bermain. Dalam bahasa demi bahasa, digit diberi nama untuk penampilan, posisi, dan ukurannya. Mereka disamakan dengan burung, anjing, dan domba, dibandingkan dengan kepala suku, anak-anak, orang tua, dan kakek-nenek. Mereka dikenal karena peran mereka dalam berdoa, berburu, menyembuhkan, mengutuk, menjilati pot, dan meremas hama. Meninjau ringkasan yang penuh warna ini, kami menemukan, di satu sisi, pola yang tak terduga dan, di sisi lain, keragaman yang menyenangkan.

Apakah keragaman ini merupakan sesuatu dari masa lalu? Apakah masalah penamaan jari diselesaikan sekali dan untuk semua? Ada beberapa tanda bahwa nomenklatur digital, seperti banyak hal lainnya, menuju homogenitas global. Tapi masalahnya hampir tidak diselesaikan. Kami terus menemukan kegunaan baru untuk tangan kami, yang dapat menginspirasi nama baru. Budaya terus berubah dan membentuk asosiasi baru. Sudut komunikasi manusia yang aneh ini akan terus menjadi ciri khas penemuan spesies kita. Atau begitulah kita bisa berharap.


Thursday, 2 January 2020

KEGIATAN PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN DALAM PENGEMBANGAN PROFESI GURU



Guru sebagai tenaga profesional mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat penting dalam mencapai Visi Kemdikbud 2025 yaitu Menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif. Oleh karena itu, profesi guru harus dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Konsekuensi dari jabatan guru sebagai profesi, diperlukan suatu sistem pembinaan dan pengembangan terhadap profesi guru secara terprogram dan berkelanjutan melalui kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan Pengembangan Profesi Guru merupakan salah satu kegiatan yang dirancang untuk mewujudkan terbentuknya guru yang profesional.
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan adalah pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalismenya. Dengan demikian, guru dapat memelihara, meningkatkan, dan memperluas pengetahuan dan keterampilannya untuk melaksanakan proses pembelajaran secara profesional. pembelajaran yang berkualitas diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman peserta didik. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan adalah bagian penting dari proses pengembangan keprofesian guru yang merupakan tanggungjawab guru secara individu sebagai masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan harus mendukung kebutuhan individu dalam meningkatkan praktik keprofesian guru dan fokus pada pemenuhan dan pengembangan kompetensi guru untuk mendukung pengembangan karirnya. Kegiatan ini mencakup lain pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau karya inovatif, yang bertujuan untuk:
1.     Pengembangan diri, untuk mencapai kompetensi dasar yang disyaratkan bagi profesi guru.
2.     Pengembangan diri untuk pendalaman dan pemutakhiran pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan kompetensinya sebagai guru.
3.     Peningkatan keterampilan dan kemampuan guru untuk menghasilkan publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif.
4.     Peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan tugas-tugas tambahan yang menunjang pengembangan karirnya sebagai guru.
5.     Pemenuhan kegiatan lain yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan guru saat ini dan di masa mendatang.
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan dalam Pengembangan profesi guru merupakan salah satu dari unsur yang diperlukan untuk memenuhi angka kredit yang dipersyaratkan untuk kenaikan jabatan fungsional guru. Pasal 11 Permenneg PAN dan RB Nomor 16 tahun 2009 menjelaskan bahwa unsur, subunsur, dan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan seperti pada Tabel 1 berikut.
  


Pengembangan Diri

Pengembangan diri adalah upaya untuk meningkatkan profesionalisme diri agar memiliki kompetensi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau kebijakan pendidikan nasional serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni. Kegiatan tersebut dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional dan teknis atau melalui kegiatan kolektif guru. Secara rinci penjelasan kedua macam kegiatan dimaksud sebagai berikut.

1.     Pendidikan dan Latihan Fungsional dan Teknis
Pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional adalah upaya peningkatan kompetensi guru dan/atau pemantapan wawasan, pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan yang sesuai dengan profesi guru yang bermanfaat dalam pelaksanaan tugas guru melalui lembaga yang memiliki ijin penyelenggaraan dari instansi yang berwenang. Guru dapat mengikuti kegiatan diklat fungsional, atas dasar penugasan baik dari kepala sekolahmaupun atas kehendak sendiri setelah mendapat izin dari atasan langsung. Kegiatan dapat berupa kursus, pelatihan, penataran, dengan durasi minimal 30 jam yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau pemerintah daerah pada lembaga diklat yang ditunjuk seperti PPPPTK, LPMP, LPPKS, Badan Diklat Daerah, lembaga Diklat yang diselenggarakan oleh masyarakat, termasuk Perguruan Tinggi yang mendapat izin operasional dari pemerintah atau pemerintah Daerah. Adapun kegiatan kolektif guru berupa in house traning diselenggarakan di sekolah masing-masing yang melibatkan seluruh guru selama 1 -3 hari penuh atau setara dengan 8 – 24 jam pelajaran @45 menit. (<30 jam). Beberapa contoh materi yang dapat dikembangkan dalam kegiatan pengembangan diri, baik dalam diklat fungsional maupun kegiatan kolektif guru, antara lain:
a.     peningkatan kompetensi pedagogis dan profesional dalam rangka kegiatan guru;
b.     penyusunan kurikulum, RPP dan bahan ajar;
c.     penyusunan, program kerja, dan/atau perencanaan pendidikan;
d.     pengembangan metodologi mengajar;
e.     penilaian proses dan hasil pembelajaran peserta didik;
f.      penggunaan dan pengembangan teknologi informasi dalam pembelajaran;
g.     inovasi proses pembelajaran;
h.     peningkatan kompetensi profesional;
i.      penulisan publikasi ilmiah;
j.      pengembangan karya inovatif;
k.     kemampuan untuk mempresentasikan hasil karya; dan
l.      peningkatan kompetensi lain yang terkait dengan pelaksanaan tugas tambahan atau tugas lain yang relevan dengan fungsi sekolah.
Durasi diklat fungsional guru dan angka kreditnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 seperti pada Tabel 2 berikut.




Keikutsertaan guru dan guru yang mendapat tugas tambahan dalam kegiatan diklat fungsional harus dibuktikan dengan bukti fisik sebagai berikut.
a.     Fotokopi surat tugas dari kepala Sekolah atau atasan langsung, atau instansi lain yang terkait yang telah disahkan oleh kepala sekolah atau atasan langsung terkait dengan keikutsertaan kegiatan pengembangan diri baik menggunakan moda tatap muka, kombinasi atara tatap muka dengan dalam jaringan maupun dalan jaringan secara penuh.
b.     Fotokopi sertifikat diklat bagi guru yang telah disahkan oleh kepala Sekolah sedangkan bagi kepala sekolah disahkan oleh dinas pendidikan sebagai atasan langsung terkait dengan keikutsertaan kegiatan pengembangan diri baik menggunakan moda tatap muka, kombinasi atara tatap muka dengan dalam jaringan maupun dalan jaringan secara penuh.
c.     Laporan hasil pelatihan yang dibuat oleh guru yang bersangkutan terkait dengan keikutsertaan kegiatan pengembangan diri baik menggunakan moda tatap muka, kombinasi atara tatap muka dengan dalam jaringan maupun dalan jaringan secara penuh disajikan dengan kerangka isi seperti pada Lampiran 1.

2.     Kegiatan Kolektif Guru.
Kegiatan kolektif guru adalah kegiatan guru dalam mengikuti kegiatan pertemuan ilmiah atau mengikuti kegiatan bersama yang dilakukan guru baik di sekolah maupun di luar sekolah (seperti KKG/MGMP, KKKS/MKKS, asosiasi profesi guru lainnya) yang bertujuan untuk meningkatkan keprofesian guru yang bersangkutan. Kegiatan kolektif guru dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut.
a.     Mengikuti lokakarya atau kegiatan di kelompok/ musyawarah kerja guru.
b.     Mengikuti in house training (< 30 jam) di sekolah untuk penyusunan perangkat kurikulum dan/atau kegiatan pembelajaran berbasis TIK, penilaian, pengembangan media an, dan/atau kegiatan lainnya.
c.     Sebagai pembahas atau peserta dalam seminar, koloqium, diskusi panel, atau bentuk pertemuan ilmiah lainnya.
d.     Mengikuti kegiatan kolektif lainnya yang sesuai dengan tugas dan kewajiban guru terkait dengan pengembangan keprofesiannya.
e.     Merupakan kegiatan wajib setiap guru pada setiap jenjang jabatan sebagaimana telah diatur dalam Rambu-rambu penyelenggara KKG/MGMP. Dalam 1 tahun, guru diwajibkan mengikuti kegiatan KKG/MGMP paling sedikit 12 kali pertemuan untuk membahas paket topik pertemuan dalam penigkatan kompetensi guru yang telah disepakati dalam program kegiatan KKG/MGMP dalam satu tahun paket kegiatan. Setiap 1 (satu) paket kegiatan paling sedikit memerlukan 3 (tiga) kali pertemun. Satu pertemuan minimal 3 (tiga) jam pelajaran @ 60 menit.
f.      Paket kegiatan guru di KKG/MGMP dlm 1 tahun dapat berupa:
1)    Paket Pengembangan Silabus, RPP, Bahan Ajar perlu minimum 3 kali pertemuan = 0.15
2)    Paket Pengembangan Instrumen Penilaian perlu minimum 3 kali pertemuan = 0.15
3)    Paket Pengembangan Model-model pembelajaran dan Jurnal Belajar perlu minimum 3 kali pertemuan = 0.15
4)    Paket Pembuatan/Pengembangan Alat Peraga perlu minimum 3 kali pertemuan = 0.15
5)    Paket Pengembangan Karya Ilmiah Guru (PTK/ Tinjauan Ilmiah/Buku/Modul/Diktat/Kajian Buku/ karya terjemahan/karya seni/karya teknologi) perlu minimal 4 kali pertemuan = 0.15
Keterangan:
Untuk mendapatkan AK, setiap paket yang diambil oleh KKG/MGMP atau guru adalah paket minimal dan kelipatannya. Misalnya, apabila kegiatan KKG/MGMP Kota Bunga dalam 1 tahun merencanakan 4 paket kegiatan angka 1), 2), 3), dan 4) yang memenuhi kriteria minimal 3 kali pertemuan sebagaimana tersebut di atas, maka setiap guru yang aktif akan memperoleh AK sebesar 4 x 0.15 = 0.60. Jika yang diperlukan adalah angka 1) adalah 4 kali pertemuan, maka nilai AK yang diperoleh tetap 0.15. Apabila kebutuhan guru untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dari kegiatan di atas lebih besar, maka yang diambil harus 2 paket yang sama, dan konsekuensinya guru akan mendapatkan AK yang lebih besar dari 0.15, yaitu 2 x 0.15 = 0.3.
·         Setiap paket kegiatan yang diikuti oleh setiap guru harus dibuatkan laporannya dan produk kegiatannya. Apabila dalam 1 tahun seorang guru mengambil 4 paket kegiatan, maka ia harus menyiapkan 4 laporan hasil kegiatan KKG/MGMP beserta lampiran hasil/produk kegiatannya dan bukti fisik pendukung.
·         Seorang guru dapat memperoleh angka kredit dari kegiatan KKG/MGMP paling sedikit telah hadir aktif sebanyak 85%.
·         Ketua KKG/MGMP membuat rekap keikutsertaan peserta dalam kegiatan kolektif selama satu tahun, dan sertifikat/surat keterangan ditandatangani oleh kepala dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya atau kepala UPTD atas nama kepala dinas pendidikan kabupaten/kota atas usulan dari ketua KKG/MGMP.
·         Guru dapat mengikuti kegiatan kolektif guru atas dasar penugasan baik oleh kepala sekolah atau institusi yang lain, maupun atas kehendak sendiri.
·         Angka kredit untuk setiap kegiatan guru dalam mengikuti kegiatan kolektif guru ditunjukkan pada Tabel 3 berikut.




Keikutsertaan guru dalam kegiatan kolektif guru harus dibuktikan dengan bukti fisik sebagai berikut.
a.     Fotokopi surat tugas dari kepala sekolahatau instansi lain yang terkait, yang telah disahkan oleh kepala sekolah. Apabila penugasan bukan dari kepala sekolah (misalnya dari institusi lain atau kehendak sendiri), harus disertai dengan surat persetujuan mengikuti kegiatan dari kepala sekolah.
b.     Laporan untuk setiap kegiatan yang diikuti dibuat oleh guru yang bersangkutan, disajikan dengan kerangka isi sebagaimana tersebut dalam Lampiran 2.

Lampiran 2. Isi Laporan Kegiatan Kolektif
1)    Bagian Awal:
Memuat garis besar isi/materi kegiatan yang diikuti, keterangan tentang kapan waktu pelaksanaan, dimana kegiatan dilaksanakan dan tujuan dari pelaksanaan kegiatan, lama waktu pelaksanaan kegiatan, surat penugasan, surat persetujuan dari kepala Sekolahserta fotokopi sertifikat atau keterangan dari pelaksana kegiatan (jika ada).
Kegiatan kolektif guru yang dilaksanakan di kelompok kerja/ musyawarah guru (KKG, MGMP, KKKS, MKKS) atau melalui IHT di sekolah. Sertifikat/surat keterangan diberikan satu kali dalam satu tahun sesuai dengan tahun ajaran di akhir pelaksanaan pertemuan kegiatan rutin kelompok/ musyawarah kerja guru. Sertifikat/surat keterangan sebagai bukti keikutsertaan kegiatan kelompok kerja/musyawarah guru tersebut harus ditandatangani oleh Ketua Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGM), Kelompok Kerja Kepala Sekolah(KKKS), Kelompok Kerja Pengawas Sekolah(KKPS).

2)    Bagian Isi:
a)    tujuan dan alasan mengikuti kegiatan yang dilakukan;
b)    penjelasan isi kegiatan;
c)     tindak lanjut yang akan atau telah dilaksanakan oleh guru peserta kegiatan tersebut;
d)    dampak terhadap peningkatan kompetensi guru dalam peningkatan mutu KBM dan peserta didik;
e)    penutup.
3)    Bagian Akhir
Lampiran, yang terdiri dari:
a)    makalah (materi) yang disajikan dalam kegiatan pertemuan;
b)    matriks ringkasan pelaksanaan kegiatan kolektif yang disajikan sebagaimana tabel berikut.




Semoga uraian tersebut bermanfaat.

Wednesday, 7 August 2019

KOMPTENSI GURU



Prof Suyanto, Ph. D. dan Drs. Asep Jihad, M.Pd. dalam bukunya Menjadi Guru Profesional menyatakan bahwa tugas guru professional adalah mendidik, mengajar, dan melatih. Tiga tugas tersebut dapat dijabarkan sebagai beriktu. Mendidik itu berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup seperti kesopanan, kedislipinan, kejujuran, dan lalin-lain. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan seperti ilmu agama, ilmu pengetahuan alam, ilmu metematika, ilmu komputer, ilmu pengetahuan sosial, dan lain-lain. Sedangkan yang diamksud dengan melatih adalah mengembangkan keterampilan-keterampilan untuk kehidupan siswa kelak d masa yang akan datang.
Agar dapat melaksanakan tugas-tugas tersebut maka seorang guru harus memiliki beberapa kemampuan dan kompetensi tertentu sebagai bagian dari profesionalisme guru. McLeod, dalam Suyanto dan Asep Jihad (2013) mneyatakan bahwa kompetensi itu sebagai perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Berdasarkan Permendikbud Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, bahwa komptensi yang harus dimiliki oleh guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi professional.
Kompetensi profesioanl merupakan salah satu kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang guru agar dapat melaksanakan perannya dalam pembelajaran yakni:
1.       Fasilitator. Sebagai fasilitator guru berperan menyediakan fasilitas atau klemudahan-kemudahan bagi siswa sehingga kegiatan pembelajaran bisa terlaksana dengan efektif efisien.
2.       Pembimbing. Guru sebagai pembimbing memiliki peran membantu siswa mengatasi kesulitan pada prose pembelajaran.
3.       Penyedia lingkungan. Dalam hal ini guru berupaya menciptakan lingkungan belajar yang menantang bagi siswa agar mereka melakukan kegiatan pembelajaran dengan bersemangat.
4.       Model. Yang dimaksud guru sebagai model adalah bahwa guru mampu memberi contoh yang baik kepada siswa agar berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di duni pendidikan.
5.       Motivator. Guru harus turut menyebarluaskan usaha-usaha pembaruan kepada masyarakat, khususnya kepada siswa.
6.       Agen perkembangan kognitif. Guru harus turut menyebarluaskan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada siswa dam masyarakat.
7.       Manajer. Guru sebagai manajer berarti guru melakukan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran. Hal ini dilakukan agar tujuan pembelajaran tercapai.

Semoga menjadi guru professional yang sukses.

Sumber:

Suyanto dan Jihad, A. (2013). Menjadi Guru Profesional. Jakarta: Esensi.

Thursday, 11 April 2019

PRINSIP PENYUSUNAN RPP



Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, disebutkan serangkaian prinsip yang harus diperhatikan guru dalam menyusun RPP. 
1.     Memperhatikan perbedaan individu peserta didik
RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik. Sebagai contoh guru menggunakan secara bergantian penayangan video klip, poster, aktivitas fisik, dramatisasi atau bermain peran sebagai teknik pembelajaran  karena gaya belajar setiap siswa berbeda-beda. 
2.     Berpusat pada peserta didik.
Guru yang menerapkan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik pertamatama memperlakukan siswa sebagai subyek didik atau pembelajar. Dilihat dari sudut pandang peserta didik, guru bukanlah seorang intruktur, pawang, komandan, atau birokrat. Guru bertindak sebagai pembimbing, pendamping, fasilitator, sahabat, atau abang/kakak bagi peserta didik terutama  dalam mencapai tujuan pembelajaran yakni kompetensi peserta didik.  Oleh karena itu guru seyogyanya merancang proses pembelajaran yang mampu mendorong, memotivasi, menumbuhkan minat dan kreativitas peserta didik. Hak ini dapat berjalan jika seorang guru mengenal secara pribadi siapa (saja) siswanya, apa mimpi-mimpinya, apa kegelisahannya, passion-nya, dan sebagainya.

3.     Berbasis konteks.
Pembelajaran berbasis konteks dapat terwujud apabila guru mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan berbagai sumber belajar lokal (setempat), guru mengenal situasi dan kondisi sosial ekonomi peserta didik, mengenal dan mengedepankan budaya atau nilai-nilai kearifan lokal, tanpa kehilangan wawasan global. Sebagai contoh nilai gotong royong di Jawa atau pela gandong di Maluku dapat dijadikan  inspirasi mengembangkan proses dan kegiatan pembelajaran.  Pembelajaran juga dapat dimulai dari apa yang sudah diketahui oleh peserta didik sesuai dengan konteksnya dan baru pada konteks yang lebih luas.

4.     Berorientasi kekinian.
Ini adalah pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan nilai-nilai kehidupan masa kini.Guru yang berorientasi kekinian adalah guru yang “gaul”, tidak “gaptek”, “melek informasi”, bahkan  sebaiknya well informed,  selalu meng-update dan meng-up grade ilmu pengetahuan yang menjadi bidangnya, termasuk teori-teori dan praktik baik di bidang pendidikan/pembelajaran. Dengan demikian rancangan pembelajaran yang dikembangkan guru dapat menjadi inspirasi bagi siswa dana abagi guru-uru yang lain.

5.     Mengembangkan kemandirian belajar
Guru yang mengembangkan kemandirian belajar (siswa) selalu akan berusaha agar pada akhirnya siswa berani mengemukakan pendapat atau inisiatif dengan penuh percaya diri. Di samping itu guru tersebut juga selalu mendorong keberanian siswa untuk menentukan tujuan-tujuan belajarnya, mengeksplorasi hal-hal yang ingin diketahui, memanfaatkan berbagai sumber belajar, dan mampu menjalin kerja sama, berkolaborasi dengan siapa pun. Idealnya semuau ini tercermin dalam rencana kegiatan pembelajaran siswa.

6.     Memberi umpan balik dan tindak lanjut pembelajaran.
RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi.

7.     Memiliki keterkaitan dan keterpaduan antarkompetensi dan/ atau antarmuatan.
RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara KI, KD, indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar.RPP disusun dengan mengakomodasi pembelajaran tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.

8.     Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Kegiatan pembelajaran dalam RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi. Sebagai contoh ketika guru menugasi siswa mengeksplorasi sumber-sumber pengetahuan lewat internet, guru harus bias menunjukkan kepad siswa alamat situs-situs web atau tautan (link) yang mengarahkan siswa pada sumber yang jelas, benar, dan bertanggungjawab.

Sumber
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22.Tahun 2016 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Me Nengah Pertama. 2017. Panduan Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Me Nengah Pertama  2017

Wednesday, 20 March 2019

REVIU BUKU 1



A.     IDENTITAS BUKU
Add caption


    Judul Buku                                                       : Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak
Penulis                                                              : Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M. Ag
Penerbit                                                            : Rineka Cipta
Tempat                                                             : Jakarta
Cetakan                                                            : Cetakan Pertama Edisi Revisi
Tahun Terbit                                                     : 2014
Jumlah Halaman                                               : xii, 316 hlm.

B.     REVIU
Sebelum revisi buku ini berjudul Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga sebuah Perspektif Pendidikan Islam. Terjemahan hadits Nabi Muhammad SAW, “Rumah tanggaku surgaku” merupakan pendorong bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan buku. Rumah tanggaku surgaku, merupakan untaian kalimat filosofis, potret rumah masa depan yang merupakan rumah idaman keluarga sakinah, keluarga berkualitas dengan segala ketenangnnya. Rumah tanggaku surgaku adalah citra rumah tangga idaman, merupakan perwujudan citra dari pola asuh orang tua yang baik dalam keluarga. Citra itu terbentuk ketika pola asuh orang tua dan komunikasi yang harmonis berjalan bergandengan secara sinergi di atas rel kepengasuhan yang tepat.
Buku ini terdiri dari delapan bab. Dari delapan bab tersebut yang akan diringkas dua bab, yaitu Bab IV Pola Komunikasi dan Interaksi dalam Keluarga, dan Bab V Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh dan komunikasi dalam Keluarga.
1.      Bab IV Pola Komunikasi dan Interaksi dalam Keluarga
a.      Pola Komunikasi dalam Keluarga
Dalam bab ini dijelaskan bahwa komunikasi dalam keluarga perlu dibangun secara harmonis. Hal ini diperlukan untuk membangun pendidikan yang baik dalam keluarga. Berdasarkan kasuistik yang ada, pola komunikasi yang sering terjadi dalam keluarga berkisar di seputar model stimulus respon (S-R), model ABX, model interaksional.
1)     Model Stimulus Respon
Pola komunikasi model ini menunjukkan komunikasi sebagai suatu proses aksi reaksi yang sangat sederhana. Asumsi dari pola ini adalah bahwa kata-kata verbal (lisan-tulisan), isyarat-isyarat non verbal, gambar-gambar, dan tindakan-tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respon dengan cara tertentu. Proses ini dianggap sebagai pertukaran atau pemindahan informasi atau gagasan. Proses ini dapat bersifat timbal balik dan mempunyai banyak efek.
Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika orang tua memberikan isyarat verbal, non verbal, gambar-gambar atau tindakan-tindakan tertentu untuk merangsang anak, terutama anak yang masih bayi memberikan respon tertentu. Ketika seorang ibu memangku dan menyusui bayinya, ibu tidak hanya membelai bayinya dengan kasih sayang dan kehangatan cinta, tetapi juga memberikan senyuman, canda tawa; walaupun saat itu bayi belum pandai berbicara, tetapi bayi sudah pandai memberikan respon terhadap rangsangan yang diberikan ibunya.
Dalam pola komunikasi model stimulus respon ini orang tua tampaknya harus proaktif dan kreatif memberikan rangsagan kepada anak. Sehinga dengan demikian kepekaan anak atas rangsangan yang diberikan semakin membaik.

2)     Model ABX
Model ABX dikemukakan oleh Newcomb. Newcomb menggambarkan bahwa seseorang (A) menyampaikan informasi kepada seseorang lainnya (B) mengenai sesuatu (X). Model ini mengasumsikan bahwa orientasi A (sikap) terhadap B dan X saling bergantung. Bila A dan B sama-sama memiliki padangan positif terhadap X maka hubungan bersifat simetris; demikian juga jika A dan B sama-sama memiliki pandangan negatif terhadap X maka hubungan ini juga bersifat simetris. Tetapi jika A dan B memiliki padangan yang berbeda terhadap X maka hubungan tersebut bersifat tidak simetris.
Dalam suatu keluarga bila memiliki hubungan yang bersifat simetris maka tidak menjadi masalah. Masalah akan muncul ketika hubungan tersebut tidak simetris. Untuk meredam terjadinya konflik/ masalah dalam hubungan tersebut maka salah satu pihak (A atau B) harus ada yang berani mengalah (bukan kalah). Sebagai contoh pasangan suami isteri ingin membeli sepeda motor. Isteri suka merek Yamaha, suami suka Honda. Kedua pihak saling mengandalkan kelebihan masing-masing. Bila ini diteruskan maka akan muncul konflik. Akhirnya suami mengalah. Mengalah tersebut merupakan upaya untuk menghindari terjadinya konflik, bukan berarti kalah. Sehingga dengan demikian hubungan dalam keluarga tersebut tetap harmonis.

3)     Model Interaksional
Dalam model ini menganggap manusia itu aktif, ini berbeda dengan model S-R. Pola komunikasi model interaksi digambarkan sebagai pembentukan makna, yaitu penafsiran atas pesan atau perilaku orang lain oleh para peserta komunikasi. Interaksi yang terjadi antarindividu saling aktif, reflektif, dan kreatif dalam memaknai dan menafsirkan pesan yang dikomunikasikan. Semakin cepat memberikan pemaknaan dan penafsiran terhadap pesan yang disampaikan semakin lancar kegiatan komunikasi.
Dalam keluarga komunikasi yang terjadi bisa dimulai dari orangtua kepada anak, dari anak kepada orangtua, atau dari anak kepada anak. Jika dalam keluarga terjadi hubungan model interaksional maka seluruh anggota keluarga aktif, keluarga manjadi aktif. Suasana keluarga aktif dan dinamis dalam kegiatan perhubungan. Suasan dialogis lebih terbuka.

b.      Aneka Komunikasi dalam Keluarga
Dalam keluarga, komunikasi yang terjadi bisa dalam bentuk komunikasi verbal, nonverbal, individual, dan kelompok. Komunikasi verbal adalah suatu kegiatan komunikasi antara individu atau kelompok yang mempergunakan bahasa sebagai alat perhubungan. Komunikasi nonverbal dilakukan bisa sebagai penguat komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal akan sangat terasa fungsinya jika komunikasi verbal tidak mampu mengungkapkan sesuatu secara jelas. Sering orangtua tanpa bertkata sepatah katapun bisa menggerakkan hati anak untuk melakukan sesuatu.
Dalam konteks sikap dan perilaku orangtua, pesan nonverbal juga dapat menerjemahkan gagasan, keinginan, atau maksud yang terkandung dalam hati. Tanpa didahului oleh kata-kata sebagai pendukungnya, tepuk tangan, pelukan, usapan tangan, duduk, dan berdiri tegak mampu mengekspresikan gagasan, keinginan, atau maksud.
Komunikasi individual atau komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang sering terjadi dalam keluarga. Komunkasi ini terjadi dalam sebuah interaksi antarpribadi. Antara suami dan isteri, antara ayah dan anak, antara ibu dan anak, dan antara anak dan anak. Dapat berlangsung dari atas ke bawah (dari orangtua kepada anak), dapat juga dari bawah ke atas (dari anak kepada orangtua).
Pertemuan seluruh anggota keluarga merupakan hal yang sangat penting. Frekuansi pertemuan antara orangtua dan anak dalam suatu waktu dan kesempatan menunjukkan keakraban hubungan dalam keluarag tersebut.

c.      Interaksi Sosial dalam Keluarga
Terdapat beberapa bentuk interaksi dalam keluaraga, yaitu interaksi antara suami dan isteri; interaksi antara ayah, ibu, dan anak; interaksi antara ibu dan anak; interaksi antara ayah dan anak; interaksi antara anak dan anak. Jika interaksi dalam keluarga tersebut bisa terjalin dengan baik maka akan mempengaruhi terbentuknya keluarga yang harmonis. Keluarga yang harmonis akan bisa memberikan pendidikan dasar yang baik untuk menumbuhkembangkan potensi laten anak, sebagai wahana untuk mentransfer nilai-nilai dan sebagai agen transformasi kebudayaan.

2.      Bab V Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh dan Komunikasi dalam Keluarga
Dalam bab V dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga. Faktor-faktor tersebut adalah citra diri dan citra orang lain, suasana psikologis, lingkungan fisik, kepemimpinan, bahasa, dan perbedaan usia.
Citra diri menentukan ekspresi dan persepsi orang. Manusia belajar menciptakan citra diri melalui hubungan dengan orang lain, terutama manusia lain yang dianggapnya penting, seperti orangtua (ayah-bunda), guru, atau atasan. Selain citra diri, citra orang lain juga mempengaruhi cara dan kemampuan orang berkomunikasi. Citra diri dan citra orang lain saling berkaitan, saling melengkapi. Perpaduan keduanya akan menentukan gaya dan cara komunikasi.
Faktor kedua yang mempengaruhi komunikasi adalah suasana psikologis. Seseorang yang dalam keadaan sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, diliputi prasangka, akan menyebabkan seseorang sulit berkomunikasi.
Lingkungan fisik merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi komunikasi. Dalam lingkungan fisik yang berbeda memerlukan cara komunikasi yang tidak sama. Contoh komunikasi yang berlangsung di dalam keluarga berbeda dengan komunikasi yang terjadi di sekolah. demikian juga akan berbeda dengan komunikasi di masyarakat. Di masing-masing lingkungan fisik tersebut memiliki norma yang harus ditaati, sehingga komunikasi yang terjalin di dalamnya harus taat pada norma masing-masing.
Kehadiran seorang pemimpin dalam keluarga merupakan faktor yang sangat penting. Kehadiran pemimpin dalam keluarga diharapakan tidak hanya bisa mempengaruhi anggota keluarga yang dipimpinnya tetapi juga bisa mempengaruhi suasana dan kondisi kehidupan sosial dalam keluarga. Sebagai sosok pemimpin dalam keluarga bisa ayah, namun dalam keluarga yang lain bisa ibu. Mengenai gaya kepemimpinan dalam keluarga bisa berbeda-beda, ada yang demokratis, laizzes-faire, atau otoriter tergantung dari kemauan orangtua dalam memimpin keluarganya.
Bahasa merupakan alat untuk mengekspresikan sesuatu dalam komunikasi verbal. Dalam komunikasi keluarga, pada suatu kesempatan, bahasa bisa mewakili objek yang dibicarakan dengan tepat, namun pada kesempatan lain, bisa jadi, bahasa tidak bisa mewakili objek yang dibicarakan dengan tepat. Penafsiran terhadap bahasa bisa bermacam-macam yang disebabkan penggunaan bahasa (dalam konteks budaya) dengan maksud agar lebih sopan, untuk menghilangkan kesan jelak, atau supaya tidak menyinggung perasaan kelompok lain.
Faktor terakhir yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga adalah perbedaan usia. Dalam berbicara hendaknya tidak sekehendak hati. Perlu memperhatikan siapa yang diajak bicara. Berbicara dengan anak kecil berbeda ketika berbicara dengan remaja. Anak dan remaja memiliki dunianya masing-masing. Orangtua tidak bisa menggiring cara berpikir anak ke dalam cara berpikir orangtua. Tidak kalah pentingnya hal yang perlu diperhatikan adalah menjadi orangtua yang bijaksana dengan menjadi pendengar yang baik bagi anak-anaknya. Dengan demikian dalam berbicara sesuai dengan tingkat usia seseorang menjadi salah satu faktor penentu kualitas komunikasi.