A.
IDENTITAS
BUKU
Add caption |
Penulis :
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M. Ag
Penerbit :
Rineka Cipta
Tempat :
Jakarta
Cetakan :
Cetakan Pertama Edisi Revisi
Tahun
Terbit :
2014
Jumlah
Halaman :
xii, 316 hlm.
B.
REVIU
Sebelum
revisi buku ini berjudul Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga
sebuah Perspektif Pendidikan Islam. Terjemahan hadits Nabi Muhammad SAW, “Rumah
tanggaku surgaku” merupakan pendorong bagi penulis dalam menyelesaikan
penulisan buku. Rumah tanggaku surgaku, merupakan untaian kalimat filosofis,
potret rumah masa depan yang merupakan rumah idaman keluarga sakinah, keluarga
berkualitas dengan segala ketenangnnya. Rumah tanggaku surgaku adalah citra
rumah tangga idaman, merupakan perwujudan citra dari pola asuh orang tua yang
baik dalam keluarga. Citra itu terbentuk ketika pola asuh orang tua dan
komunikasi yang harmonis berjalan bergandengan secara sinergi di atas rel
kepengasuhan yang tepat.
Buku ini
terdiri dari delapan bab. Dari delapan bab tersebut yang akan diringkas dua
bab, yaitu Bab IV Pola Komunikasi dan Interaksi dalam Keluarga, dan Bab V Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pola Asuh dan komunikasi dalam Keluarga.
1.
Bab
IV Pola Komunikasi dan Interaksi dalam Keluarga
a.
Pola
Komunikasi dalam Keluarga
Dalam bab ini
dijelaskan bahwa komunikasi dalam keluarga perlu dibangun secara harmonis. Hal
ini diperlukan untuk membangun pendidikan yang baik dalam keluarga. Berdasarkan
kasuistik yang ada, pola komunikasi yang sering terjadi dalam keluarga berkisar
di seputar model stimulus respon (S-R), model ABX, model interaksional.
1)
Model
Stimulus Respon
Pola
komunikasi model ini menunjukkan komunikasi sebagai suatu proses aksi reaksi
yang sangat sederhana. Asumsi dari pola ini adalah bahwa kata-kata verbal (lisan-tulisan),
isyarat-isyarat non verbal, gambar-gambar, dan tindakan-tindakan tertentu akan
merangsang orang lain untuk memberikan respon dengan cara tertentu. Proses ini
dianggap sebagai pertukaran atau pemindahan informasi atau gagasan. Proses ini
dapat bersifat timbal balik dan mempunyai banyak efek.
Sebagai
contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika orang tua memberikan isyarat
verbal, non verbal, gambar-gambar atau tindakan-tindakan tertentu untuk
merangsang anak, terutama anak yang masih bayi memberikan respon tertentu.
Ketika seorang ibu memangku dan menyusui bayinya, ibu tidak hanya membelai
bayinya dengan kasih sayang dan kehangatan cinta, tetapi juga memberikan
senyuman, canda tawa; walaupun saat itu bayi belum pandai berbicara, tetapi bayi
sudah pandai memberikan respon terhadap rangsangan yang diberikan ibunya.
Dalam pola
komunikasi model stimulus respon ini orang tua tampaknya harus proaktif dan
kreatif memberikan rangsagan kepada anak. Sehinga dengan demikian kepekaan anak
atas rangsangan yang diberikan semakin membaik.
2)
Model
ABX
Model ABX
dikemukakan oleh Newcomb. Newcomb menggambarkan bahwa seseorang (A)
menyampaikan informasi kepada seseorang lainnya (B) mengenai sesuatu (X). Model
ini mengasumsikan bahwa orientasi A (sikap) terhadap B dan X saling bergantung.
Bila A dan B sama-sama memiliki padangan positif terhadap X maka hubungan
bersifat simetris; demikian juga jika A dan B sama-sama memiliki pandangan
negatif terhadap X maka hubungan ini juga bersifat simetris. Tetapi jika A dan
B memiliki padangan yang berbeda terhadap X maka hubungan tersebut bersifat
tidak simetris.
Dalam suatu
keluarga bila memiliki hubungan yang bersifat simetris maka tidak menjadi
masalah. Masalah akan muncul ketika hubungan tersebut tidak simetris. Untuk
meredam terjadinya konflik/ masalah dalam hubungan tersebut maka salah satu
pihak (A atau B) harus ada yang berani mengalah (bukan kalah). Sebagai contoh
pasangan suami isteri ingin membeli sepeda motor. Isteri suka merek Yamaha,
suami suka Honda. Kedua pihak saling mengandalkan kelebihan masing-masing. Bila
ini diteruskan maka akan muncul konflik. Akhirnya suami mengalah. Mengalah
tersebut merupakan upaya untuk menghindari terjadinya konflik, bukan berarti
kalah. Sehingga dengan demikian hubungan dalam keluarga tersebut tetap
harmonis.
3)
Model
Interaksional
Dalam model
ini menganggap manusia itu aktif, ini berbeda dengan model S-R. Pola komunikasi
model interaksi digambarkan sebagai pembentukan makna, yaitu penafsiran atas
pesan atau perilaku orang lain oleh para peserta komunikasi. Interaksi yang
terjadi antarindividu saling aktif, reflektif, dan kreatif dalam memaknai dan
menafsirkan pesan yang dikomunikasikan. Semakin cepat memberikan pemaknaan dan
penafsiran terhadap pesan yang disampaikan semakin lancar kegiatan komunikasi.
Dalam
keluarga komunikasi yang terjadi bisa dimulai dari orangtua kepada anak, dari
anak kepada orangtua, atau dari anak kepada anak. Jika dalam keluarga terjadi
hubungan model interaksional maka seluruh anggota keluarga aktif, keluarga
manjadi aktif. Suasana keluarga aktif dan dinamis dalam kegiatan perhubungan.
Suasan dialogis lebih terbuka.
b.
Aneka
Komunikasi dalam Keluarga
Dalam
keluarga, komunikasi yang terjadi bisa dalam bentuk komunikasi verbal,
nonverbal, individual, dan kelompok. Komunikasi verbal adalah suatu kegiatan
komunikasi antara individu atau kelompok yang mempergunakan bahasa sebagai alat
perhubungan. Komunikasi nonverbal dilakukan bisa sebagai penguat komunikasi
verbal. Komunikasi nonverbal akan sangat terasa fungsinya jika komunikasi
verbal tidak mampu mengungkapkan sesuatu secara jelas. Sering orangtua tanpa
bertkata sepatah katapun bisa menggerakkan hati anak untuk melakukan sesuatu.
Dalam konteks
sikap dan perilaku orangtua, pesan nonverbal juga dapat menerjemahkan gagasan,
keinginan, atau maksud yang terkandung dalam hati. Tanpa didahului oleh
kata-kata sebagai pendukungnya, tepuk tangan, pelukan, usapan tangan, duduk,
dan berdiri tegak mampu mengekspresikan gagasan, keinginan, atau maksud.
Komunikasi
individual atau komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang sering
terjadi dalam keluarga. Komunkasi ini terjadi dalam sebuah interaksi
antarpribadi. Antara suami dan isteri, antara ayah dan anak, antara ibu dan
anak, dan antara anak dan anak. Dapat berlangsung dari atas ke bawah (dari
orangtua kepada anak), dapat juga dari bawah ke atas (dari anak kepada
orangtua).
Pertemuan
seluruh anggota keluarga merupakan hal yang sangat penting. Frekuansi pertemuan
antara orangtua dan anak dalam suatu waktu dan kesempatan menunjukkan keakraban
hubungan dalam keluarag tersebut.
c.
Interaksi
Sosial dalam Keluarga
Terdapat
beberapa bentuk interaksi dalam keluaraga, yaitu interaksi antara suami dan
isteri; interaksi antara ayah, ibu, dan anak; interaksi antara ibu dan anak;
interaksi antara ayah dan anak; interaksi antara anak dan anak. Jika interaksi
dalam keluarga tersebut bisa terjalin dengan baik maka akan mempengaruhi
terbentuknya keluarga yang harmonis. Keluarga yang harmonis akan bisa
memberikan pendidikan dasar yang baik untuk menumbuhkembangkan potensi laten
anak, sebagai wahana untuk mentransfer nilai-nilai dan sebagai agen
transformasi kebudayaan.
2.
Bab
V Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh dan Komunikasi dalam Keluarga
Dalam bab V
dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga.
Faktor-faktor tersebut adalah citra diri dan citra orang lain, suasana
psikologis, lingkungan fisik, kepemimpinan, bahasa, dan perbedaan usia.
Citra diri
menentukan ekspresi dan persepsi orang. Manusia belajar menciptakan citra diri
melalui hubungan dengan orang lain, terutama manusia lain yang dianggapnya
penting, seperti orangtua (ayah-bunda), guru, atau atasan. Selain citra diri,
citra orang lain juga mempengaruhi cara dan kemampuan orang berkomunikasi.
Citra diri dan citra orang lain saling berkaitan, saling melengkapi. Perpaduan
keduanya akan menentukan gaya dan cara komunikasi.
Faktor kedua
yang mempengaruhi komunikasi adalah suasana psikologis. Seseorang yang dalam
keadaan sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, diliputi
prasangka, akan menyebabkan seseorang sulit berkomunikasi.
Lingkungan
fisik merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi komunikasi. Dalam lingkungan
fisik yang berbeda memerlukan cara komunikasi yang tidak sama. Contoh
komunikasi yang berlangsung di dalam keluarga berbeda dengan komunikasi yang
terjadi di sekolah. demikian juga akan berbeda dengan komunikasi di masyarakat.
Di masing-masing lingkungan fisik tersebut memiliki norma yang harus ditaati,
sehingga komunikasi yang terjalin di dalamnya harus taat pada norma
masing-masing.
Kehadiran
seorang pemimpin dalam keluarga merupakan faktor yang sangat penting. Kehadiran
pemimpin dalam keluarga diharapakan tidak hanya bisa mempengaruhi anggota
keluarga yang dipimpinnya tetapi juga bisa mempengaruhi suasana dan kondisi
kehidupan sosial dalam keluarga. Sebagai sosok pemimpin dalam keluarga bisa
ayah, namun dalam keluarga yang lain bisa ibu. Mengenai gaya kepemimpinan dalam
keluarga bisa berbeda-beda, ada yang demokratis, laizzes-faire, atau otoriter tergantung dari kemauan orangtua dalam
memimpin keluarganya.
Bahasa
merupakan alat untuk mengekspresikan sesuatu dalam komunikasi verbal. Dalam
komunikasi keluarga, pada suatu kesempatan, bahasa bisa mewakili objek yang
dibicarakan dengan tepat, namun pada kesempatan lain, bisa jadi, bahasa tidak
bisa mewakili objek yang dibicarakan dengan tepat. Penafsiran terhadap bahasa
bisa bermacam-macam yang disebabkan penggunaan bahasa (dalam konteks budaya)
dengan maksud agar lebih sopan, untuk menghilangkan kesan jelak, atau supaya
tidak menyinggung perasaan kelompok lain.
Faktor
terakhir yang mempengaruhi komunikasi dalam keluarga adalah perbedaan usia.
Dalam berbicara hendaknya tidak sekehendak hati. Perlu memperhatikan siapa yang
diajak bicara. Berbicara dengan anak kecil berbeda ketika berbicara dengan
remaja. Anak dan remaja memiliki dunianya masing-masing. Orangtua tidak bisa
menggiring cara berpikir anak ke dalam cara berpikir orangtua. Tidak kalah
pentingnya hal yang perlu diperhatikan adalah menjadi orangtua yang bijaksana
dengan menjadi pendengar yang baik bagi anak-anaknya. Dengan demikian dalam
berbicara sesuai dengan tingkat usia seseorang menjadi salah satu faktor
penentu kualitas komunikasi.
No comments:
Post a Comment