Monday, 5 July 2021

AKSI “BULLYING” BUKAN TINDAKAN GURU KOSTRUKTIVIS

 

 Oleh: Sugeng Pamudji

Anda seorang guru? Pernahkah Anda menempeleng siswa? Atau memarahi siswa karena lalai mengerjakan tugas yang Anda berikan sehingga siswa sakit hati? Atau Anda meneror siswa dengan mengatakan, “Awas kalau ramai lagi saya kasih niai nol kamu?” Nah kalau Anda pernah melakukan tindakan seperti di atas maka berhati-hatilah, karena tindakan tersebut termasuk aksi bullying. Aksi bullying tidak hanya dilakukan oleh guru, namun bisa datang dari sesama siswa, senior, alumni atau bahkan orang di lingkungan sekolah.

Apa itu bullying? Menurut Andrew Mellor dari Antibullying Network University of Edinburgh, bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain baik yang berupa verbal, fisik maupun mental dan orang tersebut takut bila perilaku tersebut akan terjadi lagi. Bullying merupakan istilah yang memang belum cukup dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia meski perilakunya eksis di dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan di dalam institusi pendidikan.

Maraknya aksi bullying atau tindakan yang membuat seseorang merasa teraniaya di sekolah baik yang dilakukan sesama siswa, alumni atau bahkan guru merupakan lagu lama. Masalahnya, kasus-kasus ini jarang menguak ke permukaan karena guru, orang tua bahkan siswa belum memiliki kesadaran kapan terjadinya bullying dan kalaupun disadari, jarang yang mau membicarakannya.

Apa akibat dari aksi bullyng terhadap siswa? Menurut kelompok Peduli Karakter ANAK (PeKA) indikasi anak menjadi korban bullying :

Ø Tidak mau pergi ke sekolah,

Ø Takut pada saat pergi maupun pulang sekolah,

Ø Menjadi nervous ataupun kurang percaya diri,

Ø Menangis sendiri tanpa sebab ataupun pada saat tidur.

Ø Prestasi akademik semakin menurun,

Ø Kehilangan keceriaan pada waktu pagi hari sebelum ke sekolah,

Ø Pulang sekolah dengan tas maupun buku yg robek/rusak,

Ø Barang kepunyaan/uang sering dilaporkan hilang,

Ø Meminta uang atau bahkan mencuri uang (untuk diserahkan kepada si Pelaku),

Ø Bersikap agresif pada adik atau saudaranya,

Ø Mogok makan,

Ø Pulang dengan luka-luka tanpa penjelasan yang memadai.

Bullying menjadi momok menyeramkan karena dampaknya bukan hanya dapat dirasakan sekarang saja namun bisa muncul beberapa tahun kemudian. Contohnya, dari salah satu anak SMA, dia ketika dibentak gurunya langsung pingsan dan meracau tidak jelas. Selidik punya selidik, dia ternyata pernah dibully dengan sangat keras oleh gurunya waktu SD. Sampai sekarang, dia masih perlu pendampingan.

Apa pengaruhnya bullyng terhadap pelaksanaan pembelajaran konstruktivisme? Berikut ini adalah pandangan teori konstruktivisme.

Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

Dari uraian di atas jelas bahwa aksi bulying merupakan tindakan yang mematikan kreatifitas siswa. Siswa menjadi takut terhadap guru. Bahkan baru melihat sang guru saja sudah takut, bagaiamana mau berkreasi. Guru yang melakukan aksi bullying cenderung menghendaki siswa berlaku seperti yang dikehendaki oleh guru tersebut. Ini berarti siswa dibelenggu oleh kemauan guru.

Kadang-kadang guru lupa menanyakan kepada siswa mengapa dia melakukan suatu tindakan. Guru langsung memvonis siswa atas tindakan yang telah dilakukannya. Bila terjadi hal seperti ini yang perlu kita ketahui adalah bahwa siswa tentu memiliki alasan tersendiri mengapa dia malakukan tindakan tersebut. Sehingga dengan guru langsung memvonis siswa tersebut akan memutuskan rantai permasalahan yang ada pada diri siswa. Siswa menjadi enggan menyampaikan isi hatinya. Siswa menjadi lebih jauh hubungannya dengan sang guru. Akan lebih fatal bila kemudian enggan untuk pergi ke sekolah. Banyak kan siswa yang dari rumah pamit orang tuanya pergi ke sekolah, namun kenyataannnya tidak sampai di sekolah?

Aksi bullying menghambat siswa dalam membangun pengetahuannya dengan leluasa. Mereka datang ke sekolah banyak diliputi rasa takut, tertekan, teraniaya. Merasa sekolah merupakan tempat penyiksaan. Tujuan yang semula dicanangkan siswa hancur berantakan. Siswa merasa tujuannya ke sekolah tak terpenuhi seperti yang diangan-angankan. Padahal siswa harur diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai tujuan datang ke sekolah. Siswa menjadi enggan untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, mereka merasa takut salah. Jangan-jangan nanti kalau salah dimarahi sang guru.

Sekolah seharusnya melakukan pengamanan agar di sekolah tidak terjadi aksi bullying. Tingkat keamanan sekolah dari bullying atau tindakan yang membuat seseorang merasa teraniaya yang dapat dilakukan guru, sesama siswa, senior atau alumni bisa bergantung pada bagaimana interaksi guru dan murid di suatu sekolah dan aura lingkungan sekolah tersebut. Dari penelitian yang dilakukan di SD, SMP dan SMA di tiga kota besar di Indonesia, sekolah dengan tingkat bullying yang terendah menunjukkan ada kaitan erat antara guru dengan siswanya serta kondisi lingkungan sekolahnya. "Yang rendah ini, di sekolahnya terdapat hubungan antara guru dan siswa yang sangat baik. Sekolahnya kecil dan nyaman, dalam arti hijau, anak-anak bebas main-main. Sekolah yang sangat biasa," ujar peneliti, Ratna, dari Universitas Indonesia. Menurut Ratna, lingkungan fisik sekolah berpengaruh besar terhadap perilaku orang-orang yang ada di sekolah.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah dalam mencegah dan mengatasi bullying adalah dengan menata ruang sekolah dengan nyaman dan kreatif. Penataan ruang di sekolah sangat penting untuk menciptakan atmosfir untuk memunculkan kreativitas anak-anak dan menciptakan rasa nyaman sehingga anak-anak merasa seperti di rumahnya sendiri. Upaya pencegahan bullying memang harus menjadi perhatian semua pihak baik siswa, para alumni, guru, orang tua, bahkan masyarakat di sekitar sekolah.

Sebagai kesimpulan dari uraian di atas dapat penulis sampaikan bahwa aksi bullying merupakan tindakan yang bisa menghambat bahkan mematikan kreatifitas siswa. Apabila aksi bulying dilakukan guru maka siswa tidak bisa mengkonstruksi pengetahuannya, dengan demikian maka tindakan guru tersebut sangat bertentangan dengan jiwa konstruktivis dalam proses pembelajaran.

 

No comments:

Post a Comment