Anda seorang guru? Pernahkah Anda menempeleng siswa? Atau memarahi siswa karena lalai mengerjakan tugas yang Anda berikan sehingga siswa sakit hati? Atau Anda meneror siswa dengan mengatakan, “Awas kalau ramai lagi saya kasih niai nol kamu?” Nah kalau Anda pernah melakukan tindakan seperti di atas maka berhati-hatilah, karena tindakan tersebut termasuk aksi bullying. Aksi bullying tidak hanya dilakukan oleh guru, namun bisa datang dari sesama siswa, senior, alumni atau bahkan orang di lingkungan sekolah.
Apa itu bullying? Menurut
Andrew Mellor dari Antibullying Network University of Edinburgh,
bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain
baik yang berupa verbal, fisik maupun mental dan orang tersebut takut bila
perilaku tersebut akan terjadi lagi. Bullying merupakan istilah yang
memang belum cukup dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia meski perilakunya
eksis di dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan di dalam
institusi pendidikan.
Maraknya aksi bullying
atau tindakan yang membuat seseorang merasa teraniaya di sekolah baik yang
dilakukan sesama siswa, alumni atau bahkan guru merupakan lagu lama.
Masalahnya, kasus-kasus ini jarang menguak ke permukaan karena guru, orang tua
bahkan siswa belum memiliki kesadaran kapan terjadinya bullying dan kalaupun
disadari, jarang yang mau membicarakannya.
Apa akibat dari aksi
bullyng terhadap siswa? Menurut kelompok Peduli Karakter ANAK
(PeKA) indikasi anak menjadi korban bullying :
Ø Tidak mau pergi ke sekolah,
Ø Takut pada saat pergi maupun pulang sekolah,
Ø Menjadi nervous ataupun kurang percaya diri,
Ø Menangis sendiri tanpa sebab ataupun pada saat tidur.
Ø Prestasi akademik semakin menurun,
Ø Kehilangan keceriaan pada waktu pagi hari sebelum ke
sekolah,
Ø Pulang sekolah dengan tas maupun buku yg robek/rusak,
Ø Barang kepunyaan/uang sering dilaporkan hilang,
Ø Meminta uang atau bahkan mencuri uang (untuk
diserahkan kepada si Pelaku),
Ø Bersikap agresif pada adik atau saudaranya,
Ø Mogok makan,
Ø Pulang dengan luka-luka tanpa penjelasan yang memadai.
Bullying menjadi momok
menyeramkan karena dampaknya bukan hanya dapat dirasakan
sekarang saja namun bisa muncul beberapa tahun kemudian. Contohnya,
dari salah satu anak SMA, dia ketika dibentak gurunya langsung pingsan dan
meracau tidak jelas. Selidik punya selidik, dia ternyata pernah dibully dengan
sangat keras oleh gurunya waktu SD. Sampai sekarang, dia masih perlu
pendampingan.
Apa pengaruhnya bullyng
terhadap pelaksanaan pembelajaran konstruktivisme? Berikut ini adalah pandangan
teori konstruktivisme.
Menurut teori
belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari
pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.
Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap
diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Berkaitan dengan anak
dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell
(dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai
berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan
memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses
keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar
melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum
bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak
dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori
belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam
pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang
dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata
sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar
tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami
bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara
faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan,
sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget
dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan
kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988:
133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap
beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia
akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2)
tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari
operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan
penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3)
gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration),
proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman
(asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan
kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi,
1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Dari uraian di atas
jelas bahwa aksi bulying merupakan tindakan yang mematikan kreatifitas siswa.
Siswa menjadi takut terhadap guru. Bahkan baru melihat sang guru saja sudah
takut, bagaiamana mau berkreasi. Guru yang melakukan aksi bullying cenderung
menghendaki siswa berlaku seperti yang dikehendaki oleh guru tersebut. Ini
berarti siswa dibelenggu oleh kemauan guru.
Kadang-kadang guru lupa
menanyakan kepada siswa mengapa dia melakukan suatu tindakan. Guru langsung
memvonis siswa atas tindakan yang telah dilakukannya. Bila terjadi hal seperti
ini yang perlu kita ketahui adalah bahwa siswa tentu memiliki alasan tersendiri
mengapa dia malakukan tindakan tersebut. Sehingga dengan guru langsung memvonis
siswa tersebut akan memutuskan rantai permasalahan yang ada pada diri siswa.
Siswa menjadi enggan menyampaikan isi hatinya. Siswa menjadi lebih jauh
hubungannya dengan sang guru. Akan lebih fatal bila kemudian enggan untuk pergi
ke sekolah. Banyak kan siswa yang dari rumah pamit orang tuanya pergi ke
sekolah, namun kenyataannnya tidak sampai di sekolah?
Aksi bullying menghambat
siswa dalam membangun pengetahuannya dengan leluasa. Mereka datang ke
sekolah banyak diliputi rasa takut, tertekan, teraniaya. Merasa sekolah
merupakan tempat penyiksaan. Tujuan yang semula dicanangkan siswa hancur
berantakan. Siswa merasa tujuannya ke sekolah tak terpenuhi seperti yang
diangan-angankan. Padahal siswa harur diperlakukan sebagai manusia yang
mempunyai tujuan datang ke sekolah. Siswa menjadi enggan untuk terlibat secara
aktif dalam proses pembelajaran, mereka merasa takut salah. Jangan-jangan nanti
kalau salah dimarahi sang guru.
Sekolah seharusnya
melakukan pengamanan agar di sekolah tidak terjadi aksi bullying. Tingkat
keamanan sekolah dari bullying atau tindakan yang membuat
seseorang merasa teraniaya yang dapat dilakukan guru, sesama siswa, senior atau
alumni bisa bergantung pada bagaimana interaksi guru dan murid di suatu sekolah
dan aura lingkungan sekolah tersebut. Dari penelitian yang dilakukan di SD, SMP
dan SMA di tiga kota besar di Indonesia, sekolah dengan tingkat bullying yang
terendah menunjukkan ada kaitan erat antara guru dengan siswanya serta kondisi
lingkungan sekolahnya. "Yang rendah ini, di sekolahnya terdapat hubungan
antara guru dan siswa yang sangat baik. Sekolahnya kecil dan nyaman, dalam arti
hijau, anak-anak bebas main-main. Sekolah yang sangat biasa," ujar
peneliti, Ratna, dari Universitas Indonesia. Menurut Ratna, lingkungan fisik
sekolah berpengaruh besar terhadap perilaku orang-orang yang ada di sekolah.
Salah satu upaya
yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah dalam mencegah dan
mengatasi bullying adalah dengan menata ruang sekolah dengan
nyaman dan kreatif. Penataan ruang di sekolah sangat penting untuk
menciptakan atmosfir untuk memunculkan kreativitas anak-anak dan menciptakan
rasa nyaman sehingga anak-anak merasa seperti di rumahnya sendiri. Upaya
pencegahan bullying memang harus menjadi perhatian semua pihak baik siswa, para
alumni, guru, orang tua, bahkan masyarakat di sekitar sekolah.
Sebagai kesimpulan dari
uraian di atas dapat penulis sampaikan bahwa aksi bullying merupakan tindakan
yang bisa menghambat bahkan mematikan kreatifitas siswa. Apabila aksi bulying
dilakukan guru maka siswa tidak bisa mengkonstruksi pengetahuannya, dengan
demikian maka tindakan guru tersebut sangat bertentangan dengan jiwa
konstruktivis dalam proses pembelajaran.
No comments:
Post a Comment