Sunday 5 August 2018

HUKUMAN VERSUS DISIPLIN POSITIF


Oleh: Sugeng Pamudji

Jaman saya sebagai siswa, baik saat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, maupun sekolah menengah atas, mengalami adanya hukuman di sekolah. Secara pribadi, saya tidak pernah mengalami menerima hukuman dari guru. Untuk itu saya sangat bersyukur. Namun saya masih ingat betul banyak teman-teman saya yang mengalami menerima hukuman, baik fisik maupun non fisik. Saya yakin, pembaca tentu ada, bahkan banyak, yang ingat peristiwa saat menjadi siswa dahulu. Banyak perisitiwa di sekolah yang masih kita ingat sampai usia tua, termasuk atau terutama kejadian yang menyakitkan, baik peristiwa dengan guru maupun dengan sesama siswa.
Dulu hukuman fisik menjadi hal yang wajar untuk mendisiplinkan siswa yang berperilaku tidak sesuai dengan kemauan guru atau aturan sekolah. Bahkan saya juga pernah melakukan hal tersebut ketika baru menjadi guru saat itu. Namun setelah mendapat berbagai pelatihan, membaca buku, dan berdiskusi dengan para ahli pendidikan sudah tidak lagi melakukannya (memberi hukuman secara fisik). Saya sadar bahwa hukuman fisik bukanlah cara yang efektif untuk mendisiplinkan siswa. Bahkan untuk jangka panjang dapat menyebabkan anak merasa malu, bersalah, gelisah, agresif, tidak mandiri, dan kurang peduli pada teman-temannya yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah yang justru lebih besar baik bagi guru, wali anak, maupun anak-anak lain. Hal tersebut tertulis dalam Buku Khusus 1: Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran-Panduan Bagi Pendidik yang diterbitkan UNESCO tahun 2006. Nah yang menjadi tantangan sekarang adalah bisakah kita mengganti hukuman dengan disiplin positif?
Jika Anda sebagai guru maka memiliki tugas membimbing dan mengajarkan kepada siswa tentang bagaimana menjalani kehidupan ini. Tugas ini ternyata bukan merupakan tugas yang gampang. Suatu hari Anda melakukan pembelajaran di kelas dengan menarik dan menyenangkan baik bagi Anda sendiri maupun bagi siswa. Namun di hari yang lain mungkin Anda merasa stres, bosan, jengkel, tidak bersemangat melaksanakan tugas sebagai guru. Walaupun Anda sebagai guru dihadapkan dengan rasa bosan, namun di sisi lain guru itu merupakan tugas penting yang Anda emban.
Jika Anda sebagai guru tentu berkeinginan menegakkan kedisiplinan dengan ketegasan. Siswa, Anda perintah untuk melaksanakan ini itu, Anda larang begini begitu. Anda ingin menunjukkan kepedulian Anda terhadap siswa. Namun ternyata siswa tidak bisa terbentuk hanya karena perintah kita. Berbeda dengan orangtua, guru bertanggung jawab terhadap banyak anak dalam waktu bersamaan dengan karakter serta keunikan yang beragam. Siswa tidak selalu berperilaku tepat seperti yang Anda inginkan atau aturan yang ada. Dengan demikian sepertinya guru hanya memikirkan strategi keberhasilan yang akan diterapkan di kelas, kemudian siswa di kelas tersebut naik kelas lalu digantikan dengan wajah-wajah baru beserta kesenangan dan tantangan yang baru juga.
Jika Anda seorang guru, apakah Anda menginginkan yang terbaik untuk para siswa Anda? Apakah Anda berpikir keras bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri pada para siswa melalui kemampuan yang mereka miliki dan menghargai diri mereka? Nah, jika kedua pertanyaan tersebut Anda menjawab “Ya”, berarti sama dengan saya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah perasaan Anda ketika siswa tidak mendengarkan Anda, menolak apa yang Anda perintahkan, menentang atau mengabaikan perkataan Anda? Apakah Anda mudah merasa jengkel, marah, dan frustasi? Jika jawaban Anda “Ya”, apakah Anda memberi hukuman pada siswa tersebut? Jika Anda pernah mengalami seperti itu maka jadikan itu pengalaman yang perlu Anda renungkan. Jika hal tersebut tidak Anda alami, maka semoga ke depan hal tersebut tidak terjadi pada Anda. Uraian selanjutnya mungkin akan menjadi tambahan wawasan yang baik untuk Anda.
Apa itu hukuman? Dalam Buku Khusus 1: Disiplin positif dalam kelas inklusif ramah Pembelajaran-Panduan Bagi Pendidik dijelaskan bahwa hukuman merupakan tindakan yang diberikan pada seseorang yang melakukan pelanggaran atas sebuah peraturan atau menunjukkan tindakan yang tidak pantas. Tina Rahmawati, M.Pd dalam tulisannya yang berjudul Pembinaan dalam menanamkan Kedisiplinan dan Pemberian Hukuman pada Anak Didik, yang dipublikasikan melalui http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Pembinaan%20dalam%20kedisiplinan.pdf, menjelaskan bahwa yang dimaksud hukuman adalah sesuatu yang tidak menyenangkan yang harus diterima atau dikerjakan anak didik karena bertingkah laku tidak pada tempatnya. Mengenai tujuan pemberian hukuman, dalam Dalam Buku Khusus 1: Disiplin positif dalam kelas inklusif ramah Pembelajaran-Panduan Bagi Pendidik dijelaskan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mengendalikan perilaku seseorang melalui cara-cara yang negatif. Tina Rahmawati, M.Pd., menuliskan bahwa hukuman sebagai penguatan negatif merupakan salah satu penunjang untuk tegaknya disiplin dan dilakukan apabila terjadi pelanggaran tata tertib atau disiplin. Hukuman, dilain pihak adalah “imbalan” yang tidak menyenangkan yang harus diterima anak didik akibat tingkah laku mereka dinilai tidak pada tempatnya. Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa hukuman itu bersifat negatif. Karena bersifat negatif maka akan berakibat negatif untuk masa yang selanjutnya bagi seseorang (siswa).
Hukuman yang sering diterapkan pada anak (siswa) ada dua jenis, yakni kekerasan non fisik dan kekerasan fisik. Kekerasan non fisik seperti cercaan dan pengusiran merupakan disiplin negatif. Kedisiplinan negatif merupakan bentuk hukuman untuk mengendalikan perilaku anak (siswa). Umumnya hukuman non fisik berupa perintah atau pernyataan verbal yang singkat dan tidak nyata. Biasanya hanya untuk menakut-nakuti. Hukuman non fisik (disiplin negatif) biasanya diterapkan oleh guru yang tidak melakukan hukuman fisik. Disiplin negatif ini akan mmebuat siswa lebih marah dan agresif serta tidak menghargai diri sendiri.
Strategi disiplin negatif meliputi:
-        Perintah, misalnya, “Keluar dari kelas, jangan ikut pelajaran saya!”
-        Pernyataan larangan, misalnya, “Jangan ramai terus!”
-        Pernyataan marah, misalnya, “Awas ya, kalau kamu mengulangi lagi perbutaanmu, rasakan hukuman yang lebih berat lagi”.
-        Pernyataan mengritik, misalnya, “Kamu hanya bisa begini?”
-        Pernyataan mengancam, misalnya, “Kalau kamu tidak diam, saya suruh berdiri di depan kelas sampaijam pelajaran selesai”.
-        Pernyataan meremehkan, misalnya, “Aah, ternyata prestasimu hanya segini ya”.
Terdapat banyak strategi untuk melampiaskan rasa marah dan frustrasi saat mengahadap siswa. Diantaranya dengan menerapkan strategi disiplin negatif dan hukuman fisik. Tetapi perlu Anda tahu bahwa sebenarnya masih banyak cara yang bisa Anda lakukan untuk mengatasi kemarahan dan frustrasi tersebut. Sebagai contoh seorang guru mengatakan kepada anak didiknya, “Bapak mau menenangkan diri dulu beberapa saat; Bapak merasa terlalu marah saat ini”. Ada guru yang mengatasinya dengan pergi kamar mandi kemudian menangis sepuasnya. Ada yang menemui teman akrabnya lalu menumpahkan isi hatinya. Beberapa guru menggambarkan perasaannya ke siswa-siswanya dengan harapan mereka memahami yang membuat guru mereka marah. Selanjutnya siswa mendapatkan pembelajaran yang semestinya tidak dilakukan dan mengapa. Namun mungkin di waktu lain siswa mengulangi lagi perbuatannya, namun memreka akan bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya dan harus menerima konsekuensinya.
Terdapat satu hal lagi yang berkaitan dengan disiplin negatif, yakni menggunakan perintah “jangan”. Apakah Anda sering menggunakan perintah tersebut? Perintah “jangan” merupakan salah bentuk disiplin negatif. Contoh: “Jangan duduk di meja! Jangan ngobrol sendiri saat kegiatan pembelajaran.” Yakinkah bahwa siswa kita akan mengingat betapa seringnya Anda menggunakan perintah jangan tersebut? Namun Anda mungkin tidak memperhatikan hal tersebut, Anda mengatakan perintah “jangan” dengan begitu saja tanpa memikirkan jika kita ternyata sering bahkan terlalu sering menggunakannya.
Nah, dari pada Anda terus menerus memberi perintah “jangan” maka akan lebih baik jika melatih diri untuk mengatakan perilaku yang Anda kehendaki dari siswa dengan cara yang positif. Sebagai contoh, untuk mengatakan, “Jangan duduk di meja!” dapat Anda katakan, “Duduklah di kursi nak!” Jika Anda ingin mengungkapkan alasan karena itu aturan yang pertama kali, maka Anda bisa mengatakan, “Duduklah di kursi, karena kursi adalah tepat duduk dan juga duduk di kursi itu lebih sopan.”
Jenis hukuman yang kedua adalah hukuman fisik/ kekerasan fisik. Dalam Buku Khusus 1: Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran dijelaskan bahwa penerapan atau ancaman hukuman fisik timbul ketika guru, orangtua, atau wali  anak dengan sengaja memberi siksaan fisik atau rasa tidak nyaman kepada anak yang ditujukan agar anak tidak melanjutkan pelanggaran yang ia perbuat, tidak mengulangi kembali perbutannya, atau semata untuk menghukum anak atas perbuatannya. Saat ini sebagian negara besar di dunia telah mengakui bahwa ukuman fisik adalah perbuatan melanggar hukum dan tidak memberikan “pembelajaran” yang lebih baik.
Tindakan yang dikatergorikan hukuman fisik di beberapa tempat beragam sesuai dengan nilai-nilai budaya setempat. Berikut ini beberapa contoh hukuman fisik:
a.       memukul anak dengan tangan atau benda lain (misal tongkat, ikat pinggang, cambuk, sepatu, buku, penggaris, penghapus, dll);
b.      menendang atau mendorong anak;
c.       mencubit atau menjambak rambut anak;
d.      memaksa anak untuk berdiri dengan posisi yang tidak nyaman (berdiri di depan kelas dengan salah satu kaki diangkat ke atas);
e.       memaksa anak untuk melakukan kerja fisik atau kerja paksa secara berlebihan; dan
f.       memaksa anak memakan benda yang tidak layak konsumsi (misal sabun)
Hukuman fisik yang bertujuan untuk memberikan rasa sakit pada anak secara fisik bisa terjadi secara bersamaan atau terpisah dengan hukuman emosional. Hukuman emosional ini merupakan hukuman yang bertujuan untuk melecehkan atau menghina anak dan menyebabkan rasa sakit secara psikologis pada anak. Hukuman emosional sama dengan hukuman non fisik namun lebih keras. Hukuman emosional berupa pernyataan yang mengejek, kasar ancaman, mengolok-olok, teriakan, dan perintah, atau tindakan pelecehan lainnya, seperti menelanjangi anak atau memaksa mereka tetap berdiri dengan posisi yang memalukan dan meminta ana-anak lain untuk mengomentarinya.
Dari uruaian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk mendisiplinkan anak akan lebih baik dilakukan dengan menerapkan disiplin positif. Ini banyak kelebihannya, antara lain anak tidak tersakiti, hubungan antara guru-siswa terjaga, dalam jangka panjang kedisiplinan anak tetap terjaga karena anak disiplin dengan penuh kesadaran. Hanya saja untuk bisa menerapkan disiplin positif harus latihan keras, apalagi yang sudah terlanjur memiliki anggapan bahwa hukuman itu cara yang bisa digunakan untuk mendisiplinkan anak. Mari pembaca kita berlatih terus-menerus untuk menerapkan disiplin positif di manapun, baik di sekolah maupun di rumah. Semoga anak-anak kita menjadi generasi yang sukses (cerdas, mandiri, berkarakter).



No comments:

Post a Comment