Oleh:
Sugeng Pamudji
Jaman saya sebagai siswa, baik saat sekolah dasar,
sekolah menengah pertama, maupun sekolah menengah atas, mengalami adanya
hukuman di sekolah. Secara pribadi, saya tidak pernah mengalami menerima
hukuman dari guru. Untuk itu saya sangat bersyukur. Namun saya masih ingat
betul banyak teman-teman saya yang mengalami menerima hukuman, baik fisik
maupun non fisik. Saya yakin, pembaca tentu ada, bahkan banyak, yang ingat
peristiwa saat menjadi siswa dahulu. Banyak perisitiwa di sekolah yang masih
kita ingat sampai usia tua, termasuk atau terutama kejadian yang menyakitkan,
baik peristiwa dengan guru maupun dengan sesama siswa.
Dulu hukuman fisik menjadi hal yang wajar untuk
mendisiplinkan siswa yang berperilaku tidak sesuai dengan kemauan guru atau
aturan sekolah. Bahkan saya juga pernah melakukan hal tersebut ketika baru
menjadi guru saat itu. Namun setelah mendapat berbagai pelatihan, membaca buku,
dan berdiskusi dengan para ahli pendidikan sudah tidak lagi melakukannya
(memberi hukuman secara fisik). Saya sadar bahwa hukuman fisik bukanlah cara
yang efektif untuk mendisiplinkan siswa. Bahkan untuk jangka panjang dapat
menyebabkan anak merasa malu, bersalah, gelisah, agresif, tidak mandiri, dan
kurang peduli pada teman-temannya yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah
yang justru lebih besar baik bagi guru, wali anak, maupun anak-anak lain. Hal
tersebut tertulis dalam Buku Khusus 1: Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif
Ramah Pembelajaran-Panduan Bagi Pendidik yang diterbitkan UNESCO tahun 2006.
Nah yang menjadi tantangan sekarang adalah bisakah kita mengganti hukuman
dengan disiplin positif?
Jika Anda sebagai guru maka memiliki tugas
membimbing dan mengajarkan kepada siswa tentang bagaimana menjalani kehidupan
ini. Tugas ini ternyata bukan merupakan tugas yang gampang. Suatu hari Anda
melakukan pembelajaran di kelas dengan menarik dan menyenangkan baik bagi Anda
sendiri maupun bagi siswa. Namun di hari yang lain mungkin Anda merasa stres, bosan,
jengkel, tidak bersemangat melaksanakan tugas sebagai guru. Walaupun Anda sebagai
guru dihadapkan dengan rasa bosan, namun di sisi lain guru itu merupakan tugas
penting yang Anda emban.
Jika Anda sebagai guru tentu berkeinginan menegakkan
kedisiplinan dengan ketegasan. Siswa, Anda perintah untuk melaksanakan ini itu,
Anda larang begini begitu. Anda ingin menunjukkan kepedulian Anda terhadap
siswa. Namun ternyata siswa tidak bisa terbentuk hanya karena perintah kita. Berbeda
dengan orangtua, guru bertanggung jawab terhadap banyak anak dalam waktu
bersamaan dengan karakter serta keunikan yang beragam. Siswa tidak selalu
berperilaku tepat seperti yang Anda inginkan atau aturan yang ada. Dengan
demikian sepertinya guru hanya memikirkan strategi keberhasilan yang akan
diterapkan di kelas, kemudian siswa di kelas tersebut naik kelas lalu
digantikan dengan wajah-wajah baru beserta kesenangan dan tantangan yang baru
juga.
Jika Anda seorang guru, apakah Anda menginginkan
yang terbaik untuk para siswa Anda? Apakah Anda berpikir keras bagaimana
menumbuhkan rasa percaya diri pada para siswa melalui kemampuan yang mereka
miliki dan menghargai diri mereka? Nah, jika kedua pertanyaan tersebut Anda
menjawab “Ya”, berarti sama dengan saya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah
perasaan Anda ketika siswa tidak mendengarkan Anda, menolak apa yang Anda
perintahkan, menentang atau mengabaikan perkataan Anda? Apakah Anda mudah
merasa jengkel, marah, dan frustasi? Jika jawaban Anda “Ya”, apakah Anda
memberi hukuman pada siswa tersebut? Jika Anda pernah mengalami seperti itu
maka jadikan itu pengalaman yang perlu Anda renungkan. Jika hal tersebut tidak
Anda alami, maka semoga ke depan hal tersebut tidak terjadi pada Anda. Uraian
selanjutnya mungkin akan menjadi tambahan wawasan yang baik untuk Anda.
Apa itu hukuman? Dalam Buku Khusus 1: Disiplin
positif dalam kelas inklusif ramah Pembelajaran-Panduan Bagi Pendidik
dijelaskan bahwa hukuman merupakan tindakan yang diberikan pada seseorang yang
melakukan pelanggaran atas sebuah peraturan atau menunjukkan tindakan yang
tidak pantas. Tina Rahmawati, M.Pd dalam tulisannya yang berjudul Pembinaan
dalam menanamkan Kedisiplinan dan Pemberian Hukuman pada Anak Didik, yang
dipublikasikan melalui http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Pembinaan%20dalam%20kedisiplinan.pdf,
menjelaskan bahwa yang dimaksud hukuman adalah sesuatu yang tidak menyenangkan
yang harus diterima atau dikerjakan anak didik karena bertingkah laku tidak
pada tempatnya. Mengenai tujuan pemberian hukuman, dalam Dalam Buku Khusus 1:
Disiplin positif dalam kelas inklusif ramah Pembelajaran-Panduan Bagi Pendidik
dijelaskan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mengendalikan perilaku seseorang
melalui cara-cara yang negatif. Tina Rahmawati, M.Pd., menuliskan bahwa hukuman
sebagai penguatan negatif merupakan salah satu penunjang untuk tegaknya
disiplin dan dilakukan apabila terjadi pelanggaran tata tertib atau disiplin.
Hukuman, dilain pihak adalah “imbalan” yang tidak menyenangkan yang harus
diterima anak didik akibat tingkah laku mereka dinilai tidak pada tempatnya.
Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa hukuman itu bersifat negatif. Karena
bersifat negatif maka akan berakibat negatif untuk masa yang selanjutnya bagi
seseorang (siswa).
Hukuman yang sering diterapkan pada anak (siswa) ada
dua jenis, yakni kekerasan non fisik dan kekerasan fisik. Kekerasan non fisik
seperti cercaan dan pengusiran merupakan disiplin negatif. Kedisiplinan negatif
merupakan bentuk hukuman untuk mengendalikan perilaku anak (siswa). Umumnya
hukuman non fisik berupa perintah atau pernyataan verbal yang singkat dan tidak
nyata. Biasanya hanya untuk menakut-nakuti. Hukuman non fisik (disiplin
negatif) biasanya diterapkan oleh guru yang tidak melakukan hukuman fisik.
Disiplin negatif ini akan mmebuat siswa lebih marah dan agresif serta tidak
menghargai diri sendiri.
Strategi disiplin negatif meliputi:
-
Perintah,
misalnya, “Keluar dari kelas, jangan ikut pelajaran saya!”
-
Pernyataan
larangan, misalnya, “Jangan ramai terus!”
-
Pernyataan
marah, misalnya, “Awas ya, kalau kamu
mengulangi lagi perbutaanmu, rasakan hukuman yang lebih berat lagi”.
-
Pernyataan
mengritik, misalnya, “Kamu hanya bisa begini?”
-
Pernyataan
mengancam, misalnya, “Kalau kamu tidak diam, saya
suruh berdiri di depan kelas sampaijam pelajaran selesai”.
-
Pernyataan
meremehkan, misalnya, “Aah, ternyata prestasimu
hanya segini ya”.
Terdapat banyak strategi untuk melampiaskan rasa
marah dan frustrasi saat mengahadap siswa. Diantaranya dengan menerapkan
strategi disiplin negatif dan hukuman fisik. Tetapi perlu Anda tahu bahwa
sebenarnya masih banyak cara yang bisa Anda lakukan untuk mengatasi kemarahan
dan frustrasi tersebut. Sebagai contoh seorang guru mengatakan kepada anak
didiknya, “Bapak mau menenangkan diri dulu beberapa saat; Bapak merasa terlalu
marah saat ini”. Ada guru yang mengatasinya dengan pergi kamar mandi kemudian
menangis sepuasnya. Ada yang menemui teman akrabnya lalu menumpahkan isi
hatinya. Beberapa guru menggambarkan perasaannya ke siswa-siswanya dengan
harapan mereka memahami yang membuat guru mereka marah. Selanjutnya siswa
mendapatkan pembelajaran yang semestinya tidak dilakukan dan mengapa. Namun
mungkin di waktu lain siswa mengulangi lagi perbuatannya, namun memreka akan
bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya dan harus menerima
konsekuensinya.
Terdapat satu hal lagi yang berkaitan dengan
disiplin negatif, yakni menggunakan perintah “jangan”. Apakah Anda sering
menggunakan perintah tersebut? Perintah “jangan” merupakan salah bentuk
disiplin negatif. Contoh: “Jangan duduk di meja! Jangan ngobrol sendiri saat
kegiatan pembelajaran.” Yakinkah bahwa siswa kita akan mengingat betapa
seringnya Anda menggunakan perintah jangan tersebut? Namun Anda mungkin tidak
memperhatikan hal tersebut, Anda mengatakan perintah “jangan” dengan begitu
saja tanpa memikirkan jika kita ternyata sering bahkan terlalu sering
menggunakannya.
Nah, dari pada Anda terus menerus memberi perintah
“jangan” maka akan lebih baik jika melatih diri untuk mengatakan perilaku yang Anda
kehendaki dari siswa dengan cara yang positif. Sebagai contoh, untuk
mengatakan, “Jangan duduk di meja!” dapat Anda katakan, “Duduklah di kursi
nak!” Jika Anda ingin mengungkapkan alasan karena itu aturan yang pertama kali,
maka Anda bisa mengatakan, “Duduklah di kursi, karena kursi adalah tepat duduk
dan juga duduk di kursi itu lebih sopan.”
Jenis hukuman yang kedua adalah hukuman fisik/
kekerasan fisik. Dalam Buku Khusus 1: Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif
Ramah Pembelajaran dijelaskan bahwa penerapan atau ancaman hukuman fisik timbul
ketika guru, orangtua, atau wali anak
dengan sengaja memberi siksaan fisik atau rasa tidak nyaman kepada anak yang ditujukan
agar anak tidak melanjutkan pelanggaran yang ia perbuat, tidak mengulangi
kembali perbutannya, atau semata untuk menghukum anak atas perbuatannya. Saat
ini sebagian negara besar di dunia telah mengakui bahwa ukuman fisik adalah
perbuatan melanggar hukum dan tidak memberikan “pembelajaran” yang lebih baik.
Tindakan yang dikatergorikan hukuman fisik di
beberapa tempat beragam sesuai dengan nilai-nilai budaya setempat. Berikut ini
beberapa contoh hukuman fisik:
a. memukul
anak dengan tangan atau benda lain (misal tongkat, ikat pinggang, cambuk,
sepatu, buku, penggaris, penghapus, dll);
b. menendang
atau mendorong anak;
c. mencubit
atau menjambak rambut anak;
d. memaksa
anak untuk berdiri dengan posisi yang tidak nyaman (berdiri di depan kelas
dengan salah satu kaki diangkat ke atas);
e. memaksa
anak untuk melakukan kerja fisik atau kerja paksa secara berlebihan; dan
f. memaksa
anak memakan benda yang tidak layak konsumsi (misal sabun)
Hukuman fisik yang bertujuan untuk memberikan rasa
sakit pada anak secara fisik bisa terjadi secara bersamaan atau terpisah dengan
hukuman emosional. Hukuman emosional ini merupakan hukuman yang bertujuan untuk
melecehkan atau menghina anak dan menyebabkan rasa sakit secara psikologis pada
anak. Hukuman emosional sama dengan hukuman non fisik namun lebih keras.
Hukuman emosional berupa pernyataan yang mengejek, kasar ancaman,
mengolok-olok, teriakan, dan perintah, atau tindakan pelecehan lainnya, seperti
menelanjangi anak atau memaksa mereka tetap berdiri dengan posisi yang
memalukan dan meminta ana-anak lain untuk mengomentarinya.
Dari uruaian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
untuk mendisiplinkan anak akan lebih baik dilakukan dengan menerapkan disiplin
positif. Ini banyak kelebihannya, antara lain anak tidak tersakiti, hubungan
antara guru-siswa terjaga, dalam jangka panjang kedisiplinan anak tetap terjaga
karena anak disiplin dengan penuh kesadaran. Hanya saja untuk bisa menerapkan
disiplin positif harus latihan keras, apalagi yang sudah terlanjur memiliki
anggapan bahwa hukuman itu cara yang bisa digunakan untuk mendisiplinkan anak.
Mari pembaca kita berlatih terus-menerus untuk menerapkan disiplin positif di
manapun, baik di sekolah maupun di rumah. Semoga anak-anak kita menjadi
generasi yang sukses (cerdas, mandiri, berkarakter).
No comments:
Post a Comment